Matahari Esok
Di sebuah desa kecil yang terletak di kaki gunung, hidup seorang anak perempuan bernama Cani. Setiap pagi, ia selalu duduk di tepi sungai, menatap ke arah timur di mana matahari akan terbit. Cani memiliki kebiasaan unik: ia selalu membawa buku kecil berwarna biru yang penuh dengan coretan-coretan gambarnya. Buku itu adalah tempatnya menuliskan mimpi-mimpi dan harapannya tentang masa depan.
Suatu pagi, ketika langit masih dipenuhi bintang-bintang yang berkelap-kelip, Cani duduk di tempat biasa sambil memegang erat buku birunya. Ia menatap langit dengan penuh kerinduan. "Matahari esok," bisiknya pelan. "Apa kau akan membawa harapan baru untukku?"
Cani tinggal bersama neneknya, Mbah Rini, yang sudah tua dan sering sakit-sakitan. Kedua orang tuanya telah meninggal saat ia masih kecil, dan sejak itu, hidupnya dipenuhi dengan kerja keras untuk membantu neneknya. Meski begitu, Cani tidak pernah mengeluh. Ia selalu percaya bahwa suatu hari nanti, hidupnya akan berubah.
Pagi itu, ketika matahari mulai menampakkan sinarnya, Cani melihat sesuatu yang aneh. Di ujung cakrawala, di mana matahari biasanya terbit, muncul cahaya keemasan yang berbeda dari biasanya. Cahaya itu seperti bergerak mendekat, perlahan-lahan membentuk sebuah bentuk yang menyerupai pintu. Laras mengerjapkan matanya, yakin bahwa itu hanyalah ilusi.
Tapi pintu itu tetap ada, dan dari dalamnya, muncul seorang perempuan dengan gaun panjang berwarna emas. Rambutnya yang panjang dan berkilauan seperti sinar matahari terurai hingga ke tanah. Perempuan itu tersenyum lembut kepada Cani.
"Cani," ucap perempuan itu dengan suara yang lembut namun penuh wibawa. "Aku adalah penjaga Matahari Esok. Kau telah dipilih untuk melihat apa yang ada di balik cahaya ini."
Cani tertegun. "Apa maksudmu, Nyonya?"
"Setiap orang memiliki Matahari Esok mereka sendiri," jawab perempuan itu. "Ini adalah gambaran masa depanmu, Cani. Tapi ingat, apa yang kau lihat hanyalah salah satu dari banyak kemungkinan. Kau yang menentukan jalanmu sendiri."
Dengan hati berdebar, Cani mengangguk. Perempuan itu mengulurkan tangannya, dan Cani pun memegangnya erat. Mereka melangkah melalui pintu cahaya itu, dan seketika, Cani merasa dirinya terbawa ke suatu tempat yang sama sekali berbeda.
Di hadapannya terbentang pemandangan yang indah. Ia melihat dirinya yang sudah dewasa, berdiri di depan sebuah sekolah kecil di desanya. Anak-anak berlarian dengan riang, dan Cani yang dewasa itu tersenyum bahagia. Ia adalah seorang guru, mengajar anak-anak desa untuk membaca dan menulis. Di sampingnya, Mbah Rini duduk di kursi kayu, tersenyum bangga melihat cucunya.
Cani merasa dadanya dipenuhi kebahagiaan. Tapi tiba-tiba, pemandangan itu berubah. Ia melihat dirinya yang lain, kali ini berada di kota besar. Ia mengenakan pakaian rapi dan duduk di belakang meja di sebuah kantor yang megah. Wajahnya terlihat lelah, dan matanya kosong, seolah-olah ia kehilangan sesuatu yang penting.
Cani merasa bingung. "Mana yang benar?" tanyanya pada perempuan itu.
"Keduanya benar, Cani," jawab perempuan itu. "Ini adalah dua jalan yang bisa kau pilih. Yang satu membawamu kembali ke desa, di mana kau bisa mengabdi dan bahagia bersama orang-orang yang kau cintai. Yang satunya lagi membawamu ke kota, di mana kau bisa meraih kesuksesan materi, tapi mungkin kehilangan kebahagiaan sejati."
Cani menatap kedua gambaran itu dengan hati yang berat. Ia tahu, pilihan itu ada di tangannya. Ia menghela napas panjang, lalu menutup matanya. "Aku tahu apa yang harus kulakukan," katanya dengan tegas.
Ketika ia membuka matanya kembali, ia sudah kembali di tepi sungai, dengan buku birunya masih tergenggam di tangan. Matahari sudah terbit sepenuhnya, menyinari wajahnya yang penuh tekad.
Sejak hari itu, Cani bekerja lebih keras lagi. Ia belajar dengan giat, dan ketika ia sudah cukup dewasa, ia memilih untuk kembali ke desanya. Ia membangun sekolah kecil dan mengajar anak-anak di sana. Mbah Rini, meski sudah semakin tua, selalu mendukungnya dengan sepenuh hati.
Dan setiap pagi, Cani masih duduk di tepi sungai, menatap matahari terbit. Tapi sekarang, ia tahu bahwa Matahari Esok bukanlah sesuatu yang harus ditunggu. Ia adalah sesuatu yang harus diusahakan, dengan hati yang penuh cinta dan tekad yang kuat. *Suroso, berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar