• Jelajahi

    Copyright © WadaslintangCom
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Health

    Sebongkah Berlian di Jakarta

    WadaslintangCom
    , Jumat, Februari 28, 2025 WIB Last Updated 2025-03-06T06:07:16Z
    masukkan script iklan disini

    Desaku, sebuah tempat kecil yang tersembunyi di balik bukit-bukit hijau dan hamparan sawah yang luas, adalah surga yang sering terlupakan oleh gemerlap kota.

    Setiap sudutnya menyimpan cerita, setiap pemandangannya menawarkan kedamaian, dan setiap warna yang menghiasinya seolah berbicara tentang kehidupan yang sederhana namun penuh makna. Setiap pijakan kaki penuh kedamaian penuh kesejahteraan Inilah desaku, tempat di mana warna-warni kehidupan terlihat begitu nyata.

    Sebongkah berlian


    Cakrawala menuju Desa Ku


    Desaku dahulu pernah kutinggalkan namun bukan bermaksud untuk melupakan, ku tinggalkan untuk yang penting bisa makan dan ku gapai sebongkah berlian.

    Saya lahir dan besar didesa ini yaitu Plunjaran   bukan kenangan namun cerita dari perjalanan
    Masih inget ketika mau masuk sekolah TK karena usia sudah cukup untuk masuk dikelas 1 SD (menjadikan saya menikmati TK hanya 3 hari saja, bukan lulus namun pindah langsung masuk SD) anu wis gede langsung SD wae... Kata Bapak,red 
    Enam tahun ku nikmati maka terbeli lah Surat Tanda Tamat Belajar, kemudian ku beli setahun dua tahun dan tiga tahun maka ku nikmati masa masa SMP.


    Dahulu Orang Tua sudah menjual Rumah kala itu untuk ikut Program Pemerintah yaitu Transmigrasi karena wilayah desa tercinta terdampak Oleh Pembangunan Waduk Wadaslintang. Kita, Orang Tua sera  Kakak saya dua cowok dan cewek sudah sepakat untuk ikut Menyebrang Pulau yaitu Kalimantan
    Namun ketika semua sudah siap Kakak yang Cowok tidak mau ikut....akhirnya Orang Tua membatalkan niatnya untuk pergi yaitu Transmigrasi.

    Akhirnya kami menetap dengan membeli gubuk ( rumah baru dengan ukuran 5.5 meter panjang 9 meter tinggi 2.7 meter) mulai dari 0 

    Dahulu Bapak saya seorang Pamong, masih teringat sewaktu kecil ketika mau pergi ngendong (bertamu ke tetangga) saya menangis mau ikut, rumah lama yaitu Brunjung.

    Waktu berjalan, namanya juga perjalanan hidup terlilit kebutuhan pekarangan rumah tergadaikan, akhirnya Tuhan melunasi dengan cara Nya.
    Lega sudah bersyukur indah...serasa tak berdosa.

    Terpikul kebutuhan Ibu tercinta dan Bapak merantau ke Ibu Kota mencari sebongkah berlian tentunya untuk penghidupan.
    Kutertinggal dirumah Pakde dan Paman sampai dengan lulus SD dan SMP
    Itulah Sekolahku yang dulu pernah kunikmati


    Masih teringat masa kecil, aku melihara kelinci yang suka ngerong tau tau keluar sudah bawa anak-anaknya.
    Pernah Orang tua merantau bersama dan pada waktunya Bapak yang pulang menetap di kampung halaman.


    Berangkat ke sekolah yaitu menempuh dua kilo meter dengan berjalan kaki. Masih beruntung Saya masih bisa menikmati Bangku SMP, kakak saya SD langsung merantau ke ibu kota yaitu mencari sebongkah berlian di ibu kota.
    Dan pada saatnya saya lulus SMP, menyusul lah sampai di kota tempat mengadu kehidupan akhirnya kami bertiga saya, ibu dan kakak bersama dan Bapak menjaga rumah di desa terindah.

    Kami tidak jadi transmigrasi tapi kami memilih hidup di Jakarta.
    Masih inget begitu membaca pengumuman lulus besoknya langsung berangkat ijazah belum terambil masih tersimpan disekolah waktu itu ditahun 1998 Juni kalau ga salah.

    Kerja apa!
    Dalam hati juga hingung
    Tapi niati saja yang penting bisa makan itu motivasi dalam hati
    Pernah di tawari kamu sekolah lagi ya masih kecil  kata bos ibu berkata kepadaku waktu itu,  kujawab mbotenlah saya tidak pingin sekolah
    Takutnya ibu saya tidak betah untuk 3:tahun kedepan. Mungkin belum takdirnya.

    Dari ngenger tinggal dirumah majikan, sampai belajar ngontrak rumah tepatnya ialah 3x3m luasnya dalam hati inilah saya belajar mandiri hasil kerja sebagian buat makan yang sebagian buat di tabung.
    Lebaran ada dua kali tidak pulang, karena pada saat itu tidak ada yang dibawa pulang.
    Suatu Lebaran pernah pulang dengan tidak bawa uang serasa ada yang tidak baik, akhirnya tidak baik dengan diri sendiri, dari hal itu lebih baik tidak pulang.....disini saja
    disini di tempatku, Djakarta.


    Satu demi satu pekerjaan demi pekerjaan dilalui dinikmati saya tergolong yang tidak tekun sebentar pindah sebentar keluar diberhentikan pernah itulah kehidupan.
    Dari masa ke masa dari waktu ke waktu besok lebaran pulang dengan cukup tabungan namun ternyata hanya besok besok dan besok.


    Sebenarnya saya tidak sepakat ketika dibilang tidak tekun tidak niat ngenger, jam 04.00 Subuh sudah bangun bergegas berangkat ketempat kerja jam 21.00 malam baru sampai kontrakan kembali. Lalu istirahat menidurkan besok pulang bawa uang.
    Berjalan bertahun-tahun 'sebagian buat makan sebagian di tabung' masih jadi jimat andalan.


    Pernah dapat tugas di jakarta itu mengantar Beliau ke Kampus untuk menempuh Gelar Dokter waktu itu di daerah Rempoa Bintaro Jakarta Selatan.
    Masih teringat disana saya diajari mengemudikan mobil matik waktu itu serasa asing masih.
    Kemudian waktu berjalan, menjadi Tugas anter antar kota dan antar provinsi ketika dibutuhkan
    Dan tiba waktunya saya mendapat tugas untuk mengantar hidup ini Jakarta-Bandung, Jakarta-Semarang-Jogja.
    Pernah mencuri kesempatan mampir ke desa kampung halaman untuk bertemu Ibu dan Bapak karena Beliau mulai mudik dan menetap di desa tahun 2009.

    Foto ilustrasi, Petani Karangreja



    Ibu.... sudah lama di kota memikul mencari sebongkah berlian mbok sudah kepingin dirumah? Pulang hidup didesa biar menikmati, tandur matun arisan kerigan, aku berharap mereka habis sholat Ashar bersantai, menanti Maghrib.


    Sampai saatnya, tugasku di jakarta usai.
    Terasa suntuk dan putus asa, sebagian di tabung dan sebongkah berlian sudah ku nikmati.
    Akhirnya dengan cara Tuhan memberi jalan, masih teringat waktu itu ku nikmati Tahun baru 2011 di ibu kota tanggal 11 Januari ku Lepaskan takdirku 'yang penting bisa makan dan memiliki sebongkah berlian ku tinggalkan. Tanpa disadari 1998-2011 itu 13 tahun, waktu yang tidak pendek!

    Hati ku tergerak untuk pulang ke desa yang dulu melahirkan ku bertemu Ibu dan Bapak.
    Aku sudah berhasil, sudah jaya sudah sukses..... Sudah bisa makan  dan memiliki sebongkah berlian, Berlian itu sudah ku miliki dia ada dalam tubuhku dalam jiwaku dalam daraku. *Suroso







    Artikel lengkap, aku dan desaku

    Aku dan Desaku

    Desa, sebuah tempat yang sering dianggap sebagai jantung dari suatu negara. Di sanalah kehidupan yang sederhana, tulus, dan penuh kehangatan terasa. Aku lahir dan besar di sebuah desa kecil yang terletak di pedalaman. Desaku mungkin tidak sebesar atau semodern kota-kota besar, tetapi ia memiliki keindahan dan keunikan tersendiri yang membuatku bangga menjadi bagian darinya.

    Desaku dikelilingi oleh hamparan sawah yang luas, dengan gunung-gunung menjulang di kejauhan. Udara di sini selalu segar, terutama di pagi hari ketika kabut masih menyelimuti puncak-puncak gunung. Suara burung berkicau dan desir angin yang menggerakkan daun-daun pohon menjadi musik alam yang menemani hari-hariku. Di desaku, waktu terasa berjalan lebih lambat, namun justru itulah yang membuat hidup terasa lebih tenang dan bermakna.

    Kehidupan di desa mengajarkanku banyak hal. Aku belajar tentang arti kebersamaan dan gotong royong. Di sini, setiap orang saling mengenal dan saling membantu. Jika ada tetangga yang sedang membangun rumah, seluruh warga desa akan datang membantu tanpa diminta. Jika ada yang sedang berduka, seluruh desa akan turut merasakan kesedihan itu. Kebersamaan seperti ini yang membuatku merasa bahwa desa bukan hanya sekumpulan rumah, tetapi sebuah keluarga besar.

    Desaku juga kaya akan tradisi dan budaya. Setiap tahun, kami merayakan berbagai upacara adat yang telah diwariskan turun-temurun. Salah satunya adalah upacara panen, di mana seluruh warga desa berkumpul untuk mengucap syukur atas hasil bumi yang melimpah. Ada juga tarian tradisional dan musik khas yang selalu menghiasi acara-acara tersebut. Melalui tradisi ini, aku belajar untuk menghargai dan melestarikan warisan leluhur.

    Meskipun hidup di desa terasa damai, bukan berarti tanpa tantangan. Akses pendidikan dan kesehatan yang terbatas sering menjadi kendala. Namun, justru hal ini yang memotivasiku untuk terus belajar dan berusaha agar suatu hari nanti aku bisa memberikan kontribusi bagi kemajuan desaku. Aku percaya bahwa dengan ilmu dan tekad, aku bisa membantu membawa perubahan positif bagi desa tercinta ini.

    Desaku mungkin kecil, tetapi ia memiliki hati yang besar. Di sini, aku belajar tentang arti kehidupan yang sesungguhnya. Aku belajar untuk menghargai hal-hal sederhana, seperti senyum tulus dari tetangga atau kehangatan keluarga di tengah dinginnya malam. Desaku adalah tempat di mana aku menemukan jati diriku, dan ia akan selalu menjadi bagian dari diriku, di mana pun aku berada.

    Aku dan desaku, sebuah ikatan yang tak akan pernah terputus. Di balik kesederhanaannya, desaku menyimpan sejuta cerita dan kenangan yang akan selalu hidup dalam hatiku.

    Komentar

    Tampilkan

    1 komentar:

    Sudut