JEJAK RODA
Benar kata Rudi, terlalu lama sendiri di dalam rumah memang dapat meningkatkan stress. Bahkan bisa juga mempercepat kematian. Tapi dipikir-pikir masuk juga. Umur semakin tua kawan semakin langka, kawan seumuran sudah banyak yang berkeluarga.
Hanya alam nampaknya makhluk Tuhan yang paling setia bersama saya. Kebetulan saat itu, Rudi mengajak saya menikmati alam. Saya sadar bahwa jalan hidup tidak selalu mulus. Meski begitu jalan hidup dapat menghubungkan dari kehidupan satu ke kehidupan lain. Seperti jalan yang terkadang tanah liat, kadang juga aspal. Artinya memang sudah semestinya jalan tidak terus menurus mulus. Kadang harus bertemu jalan ekstrem yang mau tidak mau harus bisa melewatinya.
Di sinilah terkadang kita harus dapat menghubungkan keberanian dengan ketakutan. Jalanan itu bisa diibaratkan seperti karir. Ketika kita mau kita pasti mampu. Namun, ketika kita tidak mau, bagaimana kita akan mampu. Kalau tidak ada rasa berani untuk melewati ketakutan akan hal yang tidak bisa kita lakukan, maka sama saja dengan roda motor yang selalu berputar meninggalkan jejak di jalanan. Bagaikan hari ini yang meninggal cerita hari kemarin, dan hari ini untuk hari esok. Hati-hati ban roda motor juga bisa meledak. Kita harus jeli, kapan kita harus berhenti.
Saya tidak tahu kapan karir saya akan naik. Ketika saya naik nanti, saya tidak boleh menggunakan rasa yang terlalu tinggi hati, sama halnya dengan gigi roda motor ini. Ketika kita sedang menanjak, kita tidak akan kuat menanjak dengan gigi tinggi. Artinya ego harus segera turun ketika rasa keinginan atau nafsu untuk mendapatkan sesuatu sedang tinggi-tingginya. Hati-hati gir yang berjuang memutarkan rantai, bisa tumpul.
Beruntung sekali Wonosobo punya alam yang indah, tapi tidak dengan saya. Sampai saat ini belum mendapatkan tempat paling indah untuk menaruh hati yang paling megah. Saya seperti lelaki yang kurang beruntung mendapatkan kebahagiaan. Semoga sebentar lagi di perjalanan hidup saya setelah ini, akan mendapatkan titik terang dari kata kebahagiaan.
Tentang arti bahagia, atau cara untuk hidup bahagia. Saya temukan ketika saya menikmati keindahan alam Curug Winong bersama kawan-kawan saya.
"Gimana perjalanan?" tanya Sungkono kepada saya yang baru saja tiba di lokasi kemah, di dekat curug Winong, Kaliwiro
"Alhamdulillah lancar. Ternyata sekarang jalannya sudah beton." jawab saya, sembari menaruh helm yang saya kenakan.
"Jadi lancar ya?" Saut Purwoko yang sedang menyalakan api bersama Rudi, di samping tenda berwarna orange.
"Lancar, oh ya, saya punya sesuatu ini," kata saya kepada kawan-kawan saya.
"Oh ya, kemarilah saya kasih tahu. Ternyata Wonosobo mempunyai produk yang enak buat ngecamp-ngecamp kaya gini, coba handphonenya arahkan ke sini, buat dibikin story pake ini, liat ya, bim salabim." Ajak saya kepada kawan-kawan sembari mengeluarkan oleh-oleh.
"Nih saya punya sesuatu buat kalian. Ini ada mie ongklok instan yang memiliki beragam varian, ini buat Mas Sungkono, ini buat Mas Purwoko, dan ini untuk Mas Rudi, nah yang ini buat saya," kata saya, sambil membagikan mie ongklok instan merk Desta, kepada kawan-kawan saya.
"Ini asli Wonosobo?" tanya Sungkono.
"Iya benar, ini asli Wonosobo, mie ongklok instan ini bisa kita bawa ke mana-mana. Ketika kita touring kaya gini, apalagi camping kaya gini pas banget. Jadi mie ongklok instan ini memang sehat, dan memiliki beragam rasa, tapi mie ongklok ini tanpa MSG, lho," Jelas saya, dengan intonasi mirip sales mie ongklok.
"Tanpa MSG?" tanya Rudi dengan muka polosnya.
"Mie ongklok ini bisa kita bawa paling maksimal 10 bulan. Jadi ketika kita mau ke mana saja kita bisa masak mie ongklok instan ini. Ayo langsung kita masak saja!" terang saya, sambil
berjalan menuju kompor di samping tenda yang sudah menyala.
Sembari menikmati mie ongklok, kami berbincang. lagi-lagi soal kehidupan. Memang di sini, hanya saya dan Rudi yang belum menikah, tapi umurnya sudah cukup tua atau bisa kita sebut dewasa. Sedangkan Sungkono dan Purwoko sudah beranak-pinak. Jadi tepat sekali, jika kami belajar tentang kehidupan pernikahan. Baik pra nikah, nikah dan pasca nikah Eh kok pasca. Ya nikah itukan selamanya. Oh tidak dong, nikah itu sampai tubuh tertutup tanah.
"Intinya pengen menikah?" tanya Sungkono dengan tegasnya kepada saya.
"Hidup ini kan cari uang. Uang sudah, pekerjaan juga sudah ada," Saut saya kepada Sungkono, sambil menghisap rokok.
"Pasangan sudah ada belum?" tanya Sungkono kembali.
"Belum punya. Hahah" jawab saya diikuti tawa, sembari mengingat dia yang belum menjadi milik saya seutuhnya.
"Yang diinginkan kamu ini wanita seperti apa? Apakah yang lebih muda, atau lebih tua, itu semua pilihan ada di diri kamu. Kalau cantik tidak bisa dicari. Yang jelas intinya kalo cari wanita itu harus sesuai denga kamu, dan wanita itu tahu kamu. Jadi ketika kita mengenal wanita untuk menikah, untuk menikah ya. Satu yang harus dipegang itu adalah kejujurannya. Kamu harus jujur, namanya rezeki itu bisa dicari, tapi kalau kejujuran itu paling utama, jangan sampai kalau sudah menikah dia tahu keburukan kamu, lebih baik buruk di depan dari pada buruk di belakang," jelas Sungkono dengan muka seramnya.
"Tapi kalau kita sudah dapat yang yakin, yang jujur, ekonominya gimana, Bang? Menyiapkan ekonomi sejak kapan, kalau sekarang sudah umur 27 tahun ini," tanya saya dengan agak kebingungan melihat keadaan diri saya sendiri.
"Ketika kamu umur 27 tahun pola pikir kamu kan harus berubah. Jangan ke yang muda saja. Setiap kita tambah umur, secara otomatis kita tambah pengalaman. Kita tambah pemikiran, sifat kita yang dulunya masih muda, dan masih ugal-ugalan otomatis akan berubah." Penjelasan ala Pak Guru Sungkono itu membuat saya semakin cepat mengisap rokok.
"Tapi kan kadang egois itu kan baik," tanya saya kembali ke Sungkono.
"Nah egois, itukan berasal dari diri kita, siapa yang mengalahkan sifat egois itu? Kita sendiri!" tegas Sungkono layaknya guru killer.
"Intinya ketika kita lagi di puncak, lagi naik egonya, kita harus menurunkan." Saut saya yang sok bijak, kepada Sungkono
"Iya, karena egois itu datang dari diri sendiri. Saya tidak bisa mengalahkan egonya kamu, demikian sebaliknya." Kembali sautan dari Sungkono kepada saya di depan Rudi dan Purwoko.
"Kaya kita naik sepeda motor, katakanlah kita tadi datang ke sini lewat jalan yang naik nih, kalau kita mau mengandalkan ego pakai gigi yang tinggi, maka kita tidak akan kuat nanjak, tapi ketika kita menggunakan gigi yang rendah maka kita akan kuat nanjak dan otomatis dari diri kamu sendiri," terang saya sambil menjelaskan filosofi jejak roda, kepada Sungkono.
"Jangan kita ngegas terus, ada kalanya kita harus injak rem," saut Sungkono.
"Intinya kita harus berpatokan pada umur kita ya. Jangan kita berpacuan ke kelapa ya. Kelapa kan semakin tua semakin banyak santannya. Sedangkan kita semakin tua, ke arah mendekati wanita itu semakin sulit. Karena wanita sekarang juga punya target, di KUA paling tidak kan rentan umur 2 sampai 3 tahun dengan laki-laki selisihnya. Kalau kita mencari yang seumuran, umur 27 sudah banyak yang menikah, berarti otomatis kita mencari yang lebih muda," tandas Sungkono kepada saya, sembari mengangguk-angguk.
"Kalau yang di atas biasanya bagaimana?" tanya saya kepada Sungkono yang belum selesai melontarkan pertanyaan dan di potong langsung oleh Sungkono.
"Kalau yang di atas kan tergantung selera. Kalau yang di atas kita mungkin cenderung dengan wanita yang wanitanya cenderung mengajari kita. Kita, jadi sebaiknya kita yang mengajari lah. Ibaratnya kita tidak dikalahkan atau apalah," terang Sungkono.
Selesai kami berbincang, kami lalu bergegas melanjutkan perjalanan menuju rumah Pak Purwoko, karena waktu sudah mendekati pukul 18.00 WIB. Kamipun esok harinya harus segera melakukan aktivitas, seperti biasa. Harus berhadapan dengan komputer dan kursi kantor.
Di tulis ulang wadaslintang.com
Copyright© Iman Ahmad Ihsanuddin, 2022
Penulis:
Iman Ahmad Ihsanuddin
ISBN: 978-623-96738-6-4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar