masukkan script iklan disini
Kesadaran Kewirausahaan Bagi Petani Sangat Senting untuk Ditumbuhkan
Apa yang kita bayangkan ketika mendengar istilah desa? Tentunya tentang kesegaran udaranya, riuh kokok ayam pagi hari, ramai kunang atau nyanyian kodok dimalam hari, keharmonisan sosial masyarakatnya dengan sesama dan alamnya, kegiatan bertani, beternak dan lain sebagainya. Intinya, pasti hal-hal baik dan tenang serta berbaur dengan alam dan jauh dari hiruk-pikuk kota.
Foto wadaslintang.com
Kabupaten Wonosobo memiliki topografi memanjang dari selatan ke utara. Wadaslintang adalah kecamatan paling selatan dari kabupaten ini, serta berbatasan langsung dengan Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Kebumen. Kecamatan Wadaslintang terdiri dari 16 desa dan ı kelurahan, salah satunya adalah Desa Kaligowong. Desa ini berada diujung paling selatan dari Wonosobo serta berbatasan langsung dengan Kabupaten Kebumen. Dengan kata lain, desa Kaligowong merupakan desa terjauh jarak tempuhnya menuju kabupaten, karena terletak di perbatasan antara Wonosobo dan Kebumen. Bagaimana tidak? Sebelah timur dan utara masih wilayah kabupaten Wonosobo sedangkan selatan dan barat sudah berbatasan langsung dengan kabupaten Kebumen.
Sebagian besar mata pencaharian pribumi Wonosobo adalah petani, begitu pula masyarakat Kaligowong. Mayoritas pertaniannya adalah perkebunan karena kabupaten ini terdiri dari bukit dan lembah dan sangat sedikit area yang datar. Dalam bidang perkebunan mulai dari palawija, sayur-mayur, makanan pokok, serta pengganti makanan pokok seperti singkong. Petani singkong, pada masa panennya dapat menghasilkan puluhan kwintal bahkan lebih dengan masa tanam kurang lebih 1 tahun.
Tidak dipungkiri, menanam singkong banyak digandrungi oleh masyarakat Kaligowong. Karena selain perawatannya yang tidak terlalu rumit dan tidak mengeluarkan banyak biaya, singkong juga dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan. Salah satunya makanan berat pengganti nasi, seperti nasi tiwul misalnya. Dalam produksinya memang membutuhkan ketelatenan. Tetapi jika dilihat dari manfaat dan nilai ekonomisnya, nasi tiwul kaya akan manfaat serta memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Nasi tiwul atau akrab disebut oyek (nasi tiwul yang dikeringkan) biasanya harga perkilonya dapat mencapai Rp25.000,-. Yang teramat disayangkan, dalam pendistribusian sego leye atau oyek masih kurang efektif. Masyarakat terkadang masih kesulitan memasarkan ke luar desa karena minimnya informasi. Melihat konteks ini sepertinya sektor hulu-hilir pertanian harus dihadirkan dengan petani sebagai motornya.
Jika lebih diperhatikan dalam proses produksinya, mulai dari pengolahan bahan baku, pengemasan, sampai pemasaran masih sangat tradisional. Seakan semua berjalan apa adanya, petani hanya menunggu pembeli yang datang ke rumah petani dan membeli sesuai kebutuhan pembeli. Sisi lainnya lagi, di era 4.0. di mana informasi berkembang begitu cepatnya tetapi dalam hal penjualan produk olahan
ini masih lesu. Hal ini jelas sekali karena rata-rata para petani ini usianya diatas 50-an dan mereka kurang begitu menguasai teknologi era ini.
Terkadang sudah ada pengepul yang datang ke rumah petani langsung dan memborong. Hal ini terlihat menarik memang, tetapi tidak untuk urusan harga belinya. Di mana para pengepul ini biasanya membeli dengan harga sesukanya dan menjualnya kembali dengan harga lumayan tinggi. Jelas, hal ini hanya menguntungkan para pengepul saja dan belum tentu untuk petani.
Kesadaran kewirausahaan bagi petani sangat penting untuk ditumbuhkan dan didukung dengan kebijakan seperti bantuan modal, bimbingan teknis, distribusi produk, dan lainnya. Hal tersebut tentunya untuk mempertemukan petani dengan konsumen secara langsung yakni metode hulu-hilir. Kebijakan tingkat lokal sangat penting untuk meningkatkan kesadaran wirausaha tentang produk pangan lokal sesuai budaya masyarakat, tentunya kemajuan dan kebaikan bersama.
Oleh : Winarti, untuk Kegiatan "Workshop Menulis Wadaslintang Keren, dalam rangka Festival Desa Wisata Tahun 2020"
*ditulis ulang : wadaslintang.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar