PROSA JALANAN
Cinta telah dibuang jauh, dan keadilan tak pernah datang. Kesabaran hanya menjadi candaan murahan yang dilontarkan dari kursi-kursi tinggi, sementara kami terus dipaksa menelan getir. “Tunggu,” kata mereka, seakan waktu adalah obat. Padahal waktu hanyalah jerat yang melilit semakin kencang.
Kami muak. Karena rumah tidak lagi menyimpan kepercayaan, maka jalananlah yang menjadi rumah kami. Di atas aspal yang retak, kami menaruh cita-cita. Debu, batu, dan teriakan kami rangkai menjadi kitab suci yang tak ditulis tinta, melainkan darah dan keringat.
Kami tidak datang untuk meminta, kami tidak berdiri untuk menghiba. Kami datang untuk merobohkan. Setiap kursi yang congkak, setiap tembok yang menutupi kejujuran, setiap topeng yang menyembunyikan wajah rakus, semua harus dibongkar.
Kami tidak ingin lagi jawaban yang basi, tidak ingin lagi sabda yang manis di bibir namun busuk di dasar hati. Kami hanya ingin dipandang sebagai manusia.
Dan jika cinta tak juga dijadikan hukum tertinggi, maka api kecil di dada ini akan tumbuh menjadi badai. Badai yang bukan hanya mengetuk pintu, melainkan menghancurkan engsel dan gemboknya. Karena kebenaran tidak akan lahir dari bisikan, melainkan dari gelegar yang mengguncang tanah.
Bongkar. Sampai segalanya runtuh. Bongkar. Sampai cinta kembali bernyawa.
#wanita_hujan



Tidak ada komentar:
Posting Komentar