Pagi bertandang dengan kepala terbelah,
awan-awan menggembung seperti paru-paru raksasa
menghembuskan napas panas ke wajahmu—
bulan yang tersesat di siang hari.
Kulihat kau mengulum senyum separuh luka,
mata redupmu meneteskan kawanan burung plastik
yang jatuh satu per satu ke telapak tanganku.
Ah, lelahkah kau menungguiku
di lorong waktu yang tak pernah pulang?
Katamu, mentari beringas mengoyak tirai tidur
hingga bintang-bintang hanyut
di sungai air mata yang tak berhulu.
Sementara kau, bulan kesiangan,
tetap duduk di tepi langit
menjahit kilatan petir ke dalam jubahmu
dengan benang angin yang mendesir.
“Tunggu,” kataku,
“biarkan aku memeluk tebing hijau
agar tidak runtuh menjadi wajah jurang.
Aku tak ingin lagi tersungkur
ke mulut luka yang berdoa tanpa suara.”
Hai, bulan pucat—
istirahatlah dalam kantong mimpi yang koyak.
Datanglah saat malam merajam hitamnya,
akan kuberi engkau dua bintang bisu
dan seikat doa yang menyala biru,
lalu kita menari di pinggiran galaksi
sambil menabur serpihan tulang waktu
ke dalam laut takdir.
Kediri, 11 September 2025
Penulis : Siera Putri
#Wanita_Hujan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar